[JATENG TRIP] Dua Keraton Yang Berbeda Rasa

Di Solo, ada dua objek wisata yang sangat penting, setidaknya di dalam perjalanan ini, cukup meninggalkan kesan yang mendalam untuk kami. Solo seperti yang sudah diketahui bersama memiliki 2 keraton; Pura Mangkunegaran dan Keraton Surakarta.

Perjalanan diawali dengan naik becak, dari jalan Slamet Riyadi, tepat setelah kami mengunjungi Gramedia (jauh2 liburan, larinya ke Gramed juga). Karena pundak benar2 terasa mau copot, membawa beban tas yang ternyata tidak cocok dengan kondisi badan yang biasanya menghabiskan waktu lebih dari 12 jam duduk manis di depan komputer. Well, gw ga tau biaya sebenarnya berapa, tapi kami membayar sepuluh ribu rupiah perbecak.

Bicara sedikit tentang sejarah. Oke ini memang ga sedikit, siapkan kopi ya supaya tidak mengantuk. 

Anyway, sebenarnya sangat menarik, untuk mengetahui sejarah kenapa sampai ada dua keraton di dalam satu kota.

Semua bermula ketika VOC, mendesak Sunan Pakubuwana II untuk membayar hutang perang keraton kepada Belanda dengan menyewakan daerah pesisir dengan sewa sekitar 20 ribu real. Hal ini ditentang habis2an, oleh Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik sekaligus perdana menteri dari Sunan Pakubuwana II. Pertengkaran pun tidak bisa dihindari, Baron van Imhoff, yang saat itu merupakan Gubernur Jendral VOC, menghina Pangeran Mangkubumi di depan umum.

Tidak terima dihina, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan tim pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa, yang tidak lain adalah keponakan dari Pangeran Mangkubumi dan Sunan Pakubuwana II. Sebelum Sunan Pakubuwana II meninggal dunia pada tahun 1749, Kasunanan Surakarta menyerahkan kedaulatannya secara penuh kepada VOC, akibatnya VOC-lah yang berhak melantik seluruh raja di Jawa. Dan ketika akhirnya beliau meninggal dunia, anaknya diangkat oleh VOC menjadi Sunan Pakubuwana III. Pada saat yang sama, di daerah yang lain, Pangeran Mangkubumi juga mengangkat dirinya menjadi Sunan Pakubuwana III. Yup ada 2 orang Sunan Pakubuwana III, yang satu disebut Susuhanan Surakarta (pewaris asli) dan yang satu lagi disebut Susuhunan Kebanaran (tempat Mangkubumi berjuang).  Tapi untuk mudahnya mari tetap kita sebut Pangeran Mangkubumi dan Sunan Pakubuwana III saja.

Pemberontakan terus berlangsung, Mangkubumi dan Sambernyawa berkali-kali berusaha mengusir Pakubuwana III dari keraton, namun usaha selalu gagal, tentu saja karena VOC melindungi Pakubuwana dari serangan pemberontak.

Sekitar tahun 1752 muncul pergesekan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa; keduanya menginginkan supremasi tunggal untuk Mataram, dan keduanya ingin menjadi pemimpinnya. Pangeran Sambernyawa mendapat dukungan penuh dari golongan elite Jawa. Tidak terima atas kekalahan ini, Pangeran Mangkubumi berbalik mendukung ke VOC (galau banget pangeran yang satu ini), dan VOC tentu saja menyambut gembira hal tersebut.

Maka diadakanlah perjanjian yang kita kenal dengan perjanjian Giyanti yang digelar pada tanggal 13 Februari 1755 . Perjanjian Giyanti membagi Mataram menjadi 2 : wilayah sebelah timur kali Opak untuk Sunan Pakubuwana III yang merupakan pewaris takhta asli dan wilayah sebelah barat diberikan ke Pangeran Mangkubumi,  yang kemudian kita kenal dengan Yogyakarta nantinya. Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono ke 1. Namun yang paling lucu dan buat gw susah ditrima nalar, pada akhirnya Pangeran Mangkubumi menyetujui VOC menyewa daerah persisisran dengan biaya sewa 10 ribu real per Sultan. Tepok jidat, bukannya ini yang jadi pokok awal pemberontakan Pangeran Mangkubumi? Anyway, kemudian Pangeran Mangkubumi mendirikan kraton Yogyakarta sebagai tempat tinggalnya. Jadi sekarang ada 2 kraton, tapi masih tetap cuma ada 1 kraton di Solo.

Mari kita lanjutkan critanya, setelah perjanjian Giyanti, Pangeran Sambernyawa menjadi musuh bersama; ketika didesak untuk berdamai. Pangeran Sambernyawa meminta agar Mataram dibagi menjadi 3 kekuasaan. VOC yang sudah lelah dengan peperangan yang tidak kunjung usai, ikut mendesak Sultan Hamengkubuwono dan Sunan Pakubuwana untuk mengabulkan permintaan Pangeran Sambernyawa. Lewat Perjanjian Salatiga, pada 17 Maret 1757, Mataram dibagi menjadi 3 kekuasaan. Dan Pangeran Sambernyawa menjadi penguasa di Kadipaten Mangkunegaran, dengan gelar Mangkunegaran I. Dalam perjanjian ini ditegaskan bahwa Pangeran Sambernyawa tidak bisa memakai gelar Sunan/Sultan, dan hanya berhak menyandang gelar Pangeran Adipati.

Sejak saat  itu Solo memiliki dua keraton, keraton pertama tempat tinggal Sunan Pakubuwana, Keraton Surakarta Hadiningrat ; dan keraton tempat Adipati Mangkunegaran tinggal, Pura Mangkunagaran.

Pura Mangkunagaran, Kraton rasa Eropa

tampak depan Pura Mangkunagaran | photo by wikipedia

Keraton yang pertama kali kami kunjungi, adalah Pura Mangkunagaran. Disambut para petugas yang sangat ramah, bahkan memperbolehkan kami untuk menaruh tas ransel kami yang sangat berat di pundak ini. Hal ini sungguh-sungguh membantu kami menikmati keindahan keraton dengan bebas.
Buka setiap hari dari pukul 09.00 - 14.00 WIB, kecuali hari minggu tutup jam satu siang.
Untuk tiket masuk cukup membayar Rp.10.000,- dan Rp.18.000,- , dan uang serelanya untuk tiap guide yang menemani.
Kraton Mangkunagaran, walaupun dibangun dengan konsep jawa klasik namun sangat kental dengan nuansa eropanya. Hal tersebut sudah terasa ketika kita menginjakan kaki yang telanjang ke atas pendopo. Langit-langit pendopo dihiasi gambar-gambar zodiak :). Dan hal yang pertama kali kami lakukan tentu saja mencari zodiak2 yang kami miliki. Sayang, kamera handphoneku tidak bisa menangkap gambar-gambarnya.

~ beberapa patung hadiah dari negara-negara tetangga (photo by Jehan) ~

Di belakang pendopo ada ruangan yang diberi nama Pringgitan, ruangan ini sebenarnya ruang tidur pengantin kerajaan. Namun sekarang digunakan sebagai museum utama di Pura Mangkunagaran. Di ruangan ini para pengunjung tidak diijinkan untuk mengambil foto, katanya sih percuma saja, fotonya juga tidak akan jadi. Tapi menurut gw, mungkin lebih untuk faktor keamanan, karena di museum ini, dipajang perhiasan-perhiasan dan mahkota milik keluarga kerajaan.

Ada satu benda yang sangat menarik perhatian gw, bukan-bukan gembok kelamin milik raja dan ratu, tapi cap kerajaan yang digunakan di jempol kaki. Untuk menunjukan ketidaksukaan terhadap Belanda, langkah yang diambil Adipati Mangkunagaran ini sangat jenius, kalau Belanda memerlukan cap kerajaan, mereka harus menunduk saat Adipati menstempel di atas dokumen. :), jenius kan.

Dari pringgitan, kami diajak berjalan memasuki daerah tempat kediaman keluarga Mangkunegaran. Rasanya seperti berada di villa mewah di film-film kuno. Ada 2 tempat yang sangat gw sukai, ruang rapat dan ruang makan para putri. Tempatnya mewah, tapi terasa akrab dan nyaman.

ruang rapat keluarga kerajaan ~ photo by wikipedia

~ ruang-ruangan yang ada di Mangkunegaran ~

Tapi mungkin warisan yang paling beharga untuk rakyat Indonesia, adalah perpustakaan yang didirikan Mangkunegaran IV, di mana kita masih bisa menemukan koleksi manuskrip yg ditulis di atas kulit, buku-buku berbahasa jawa dan koleksi foto2 bersejarah negeri ini.

Kraton Surakarta Hadiningrat yang dipenuhi aura mistis 


~ Gapura Gladak Kraton Surakarta | sumber : wikipedia ~

Kalau di Pura Mangkunegaran, tiap benda dan bangunan yang ada di dalamnya amat sangat terawat, dan siap dipakai kapan saja. Tidak demikian yang dirasa di Kraton Surakarta. Kesan seperti ditinggalkan dan hanya menjadi objek museum agak membekas di hati. Moga-moga cuma gw yang merasakan itu. 
Tapiiii aura mistis ketika kaki menyentuh pasir dari pantai selatan yang sengaja didatangkan ke situ benar-benar terasa. Ditemani desiran angin yang lewat pohon-pohon sawo kecik; membawa kedamaian yang aneh. Tunggu-tunggu kenapa pasir bisa kena kaki gw? Karena untuk menghormati tradisi tempat ini,  ada beberapa aturan yang harus ditaati dan salah satunya tiap pengunjung yang memakai sandal harus  melepas sendalnya dan bertelanjang kaki. Gw pake sepatu sih, tapi agak males kalau sepatunya harus kena2 pasir.  

Aturan - aturan lainnya : pengunjung tidak diperbolehkan untuk memakai celana pendek, kacamata hitam, dan baju tanpa lengan. Jadi kalau kamu berminat ke Kraton Surakarta, sebaiknya dresscodenya diperhatikan ya :) .

Sebelum masuk ke daerah2 berpasir tersebut, kami masuk dari Gapura Gladak yang terletak di sebelah utara keraton. Gapura ini di"jaga" oleh dua arca Dwarapala yang memegang gada. Dari situ masuk ke dalam museum yang berisi photo-photo, benda-benda pusaka dan diorama diorama kesenian rakyat. Dari koleksi museum ada yang menarik perhatian gw, dan membuat gw terpana.

~ aneh kan aneh kan ~

Berbeda dengan pelayanan di Pura Mangkunagaran, pelayanan di kraton terasa lebih dingin. Pemandunya pun sepertinya kurang antusias dalam memberikan penjelasan, hmmm mungkin pemandunya sudah lelah juga, karena kami datang menjelang tutup ^_^.

Kalau kamu tertarik ke sana, letaknya dekat sekali  dengan Mesjid Agung dan alun-alun utara, kamu cukup berjalan kaki saja. Jam buka keraton :

  • Senin - Kamis pukul 09.00 - 14.00
  • Sabtu - Minggu pukul 09.00 -13.00

Harga tiketnya untuk museum Rp.8.000,- untuk bangsal Pagelaran Rp. 2.500,- . Oh iya untuk kamera dan video Rp.3.500,- harus bayar lagi. Ribet yaa >< .