[JATENG TRIP] Day 4 - Kawah Sikidang dan Telaga Warna

KAWAH SIKIDANG

Turun dari gunung, kami melanjutkan perjalanan kami ke Kawah Sikidang. Begitu sampai di sana, langsung disambut dengan bau belerang. Vian langsung membelikan kami penutup hidung (makasih ya vi). Tanpa babibu langsung dipake sambil berdoa supaya tidak mati pingsan di situ.


Setelah membayar sekitar Rp.6000,- kami mulai memasuki kawah sikidang. Larangan yang harus dipatuhi tidak neko-neko, kami dilarang membuang sampah dan putung rokok di kawah. Ya gila aja sih, kalau ada yang mau buang putung rokok di kawah. Tapi ya yang paling menyeramkan sebenernya, pemandangan di depan kami. Setelah mata dimanjakan di gunung dieng, kami berhadapan dengan tanah tandus lapang yang penuh asap mengepul-ngepul. Berjalan di atas tanahnya pun harus hati-hati, harus nyari yang kering dan bukan yang abu-abu pekat tapi meletup-letup gitu.

~ pokoknya yang kaya gini jangan sampe keiinjek deh ~ 

Kawah Sikidangnya sendiri berada di ujung kompleks, tapi gw ga berani menuju ke sana. Selain ga tahan dengan baunya yang semakin menyengat, kayanya cukup ngeliat dari jauh aja. Toh ga bisa ngeliat juga dengan jelas, kawahnya dipenuhi dengan asap putih mengepul2 marah.

~ vian menuju bibir kawah ~


~ kawah sikidang di depan mata ~

~ gw cukup dari sini ajalah ngeliatnya ~

Tapi sebenernya yang paling menyenangkan dari kawah ini, gw menemukan kuda yang tampaaan sekali. Walaupun temen-temen gw ga mengerti ketampanannya, dan mempertanyakan keadaan jiwa gw karena terus menerus melihat photonya. Tapi ayolah, siapa yang tidak bilang dia cukup tampan :


TELAGA WARNA

Sedikit agak tidak rela meninggalkan  kawah sikadang kuda tampan itu, kami gw kami pun melanjutkan perjalanan ke telaga warna. Waktu mendengar telaga warna, bayangan gw, pasti warna-warni. Seperti legenda cincin raja yang kecemplung dan menghasilkan warna-warni indah. Tapi sejauh mata memandang warnanyaaa hijaaaau terus. Cks. Setelah pulang ke rumah, baru ngecek ternyata ada tipsnya 
Di pintu belakang terdapat sebuah jalan setapak menanjak ke arah salah satu bukit yang memagari telaga. Jalan tanah ini sangat sempit, hanya cukup untuk dilewati satu orang saja. Tanjakannya memang tidak begitu terjal, namun cukup licin mengingat kawasan Dieng sering dilanda hujan. Beberapa ratus meter mendaki, sampailah di puncak bukit dengan pemandangan yang akan membuat siapa saja terpesona. Di bawah sana, telaga warna terhampar indah dikelilingi oleh rimbunnya hutan. Air di pinggir telaga berwarna ungu cantik, bergradasi dengan warna hijau di tengah, dan hijau pucat di pusat telaga. Di ujung sebelah sana, sebuah padang rumput sempit memisahkannya dengan telaga jernih yang ternyata sering disebut Telaga Pengilon atau telaga yang bisa dipakai untuk berkaca. (yogyes)

Tapi yang tidak kalah asik, berjalan mengelilingi telaga ini. Kaya berada di tengah hutan, tapi jalanannya nyaman. Waktu arah balik kembali ke awal, gw sempat tersesat dari rombongan. Selain nyasar ke tempat semedi, juga nyasar ke perkebunan, malah sempat ngobrol sebentar dengan para petani di sana. Yang ternyata mereka mengambil air telaga untuk menyirami tanaman-tanaman tersebut.

~ salah belok di sini ~

RUMAH RUMAH KOSONG

Akhirnya tiba waktunya berpisah dengan dieng. Sebelum kembali ke guesthouse untuk beres-beres dan makan siang. Kami melewati dataran rumah-rumah kosong. Aneh deh, kenapa dikosongin gitu. Iseng nanya, ternyata katanyaa... rumah-rumah itu bekas rumah menanam jamur. Dulu dieng pernah mengekspor jamur ke luar negeri. Karena sesuatu hal yang kemudian menurunkan kualitas jamur, semua jamur yang sudah dikirim, dikembalikan. Tidak bisa bangkit lagi, akhirnya rumah2 tersebut dibiarkan begitu saja. Sendiri dan terlantar. 

No comments: